Ketum GRANAT Prof. Henry Yoso Dampingi Ketua Wantim DPP GRANAT Komjen Pol Purn Ahwil Loetan di Sidang Narkoba Sindikat Nigeria

Jakarta – Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPP GRANAT) yang juga Koordinator Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol (Purn) Ahwil Loetan menjadi Saksi Ahli dalam tuntutan kepada Bandar Narkoba Jaringan Nigeria di Sidang Perkara Narkoba Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (12/9/2023) sore. Hadir mendampingi dalam sidang tersebut Ketua Umum DPP GRANAT Prof. Henry Yosodiningrat beserta sejumlah Pengurus DPP GRANAT lainnya.
Kehadiran langsung Ketum DPP GRANAT mendampingi Ketua Dewan Pertimbangan DPP GRANAT Komjen Pol (Purn) Ahwil Loetan di PN Jakarta Selatan dalam kasus Narkoba merupakan komitmen GRANAT untuk memerangi Narkoba.
Diketahui, awalnya para pengedar narkoba sindikat jaringan Nigeria terlacak oleh Penyidik dimana sindikat asal Nigeria tersebut dalam operas pengiriman narkobanya melalui nomor India +91 kepada seorang Warga Negara Indonesia, dimana titiknya berhasil ditemukan dan polisi melakukan penyadapan. Dalam pengiriman melalui kargo kantor pos sempat diputar-putar alamat pengirimannya untuk mengelabui jejak. Ternyata mereka menggunakan nama nama fiktif yang melibatkan seorang WNI perempuan tang menikah dengan salah seorang Bandar atau kurir asal Nigeria. Ketika tertangkap, Penyidik membuka dan isi paketnya adalah kain Sari. Polisi dengan menggunakan teknik Controlled Delivery, sesuai Pasal 75J UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika, teknik ini diatur untuk membongkar jaringan narkotika, sehingga ditujukan untuk peredaran gelap, bukan semata-mata pada pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi. Setelah menggunakan teknik ini, akhirnya ditemukan sabu.
Karena penggunaan teknik Controlled Delivery tersebutlah yang akhirnya digunakan oleh pengacara dari Bandar Jaringan Narkoba untuk menuntut balik aparat hukum dengan UU ITE.
Dalam kesaksian Saksi Ahli Ketua Wantim DPP GRANAT Komjen Pol Purn Ahwil Loetan ia berdalih alat bukti elektronik adalah bukti yang sah dan diatur oleh UU No.35 Tahun 2009 (UU Narkotika) Pasal 88, bahwa bukti elektronik dapat digunakan dan bukti yang sah dan diterima oleh Pengadilan. Bahkan UU Narkotika lebih kuat dibanding UU ITE, karena ada terlebih dahulu ketimbang UU ITE. Selain itu, pada UU No.9 Tahun 1976, itu sudah diperbolehkan penyidik untuk menyadap padahal belum ada HP. Ini juga terkait dengan Konvensi PBB Tahun 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, sehingga muncul UU Narkotika No.22 Tahun 1997, dimana Penyidik berhak menyadap, terlebih sudah diperbarui dengan UU No.35 Tahun 2009.